Para Penyangkal Pandemi Covid -19
Berhati hati dengan berita hoaks
|
Suasana Vaksin Covid 19 di Petamburan |
Pagi ini saya membaca di salah satu Harian Kompas, tanggal 23 Januari 2021, ada salah satu artikel tulisan dari Ahmad Arif dengan judul Memahami Nalar Penyangkal Pandemi. Tulisan yang menarik dan memang saat ini menjadi bahasan di berbagai media sosial, baik berita koran yang terverifikasi maupun berita dari Whatsup kiriman orang tidak bertanggung jawab yang tidak terverifikasi tetapi lebih banyak dipercaya orang. Terpapar berita Hoaks.
Artikel ini masuk di dalam Catatan Iptek. Memang ada beberapa orang yang masih belum percaya 100 persen adanya wabah Covid-19.
Covid memang samar, tidak seperti Cacar yang langsung keluar bisul bisul nanah, atau wabah Ebola yang menyebabkan rembesan darah, atau Polio yang menyebabkan demam tinggi hingga menyebabkan bagian tubuh tertentu tidak berkembang.
Hal inilah yang membuat mereka para penyangkal ragu. Di saat kasus Covid-19 melonjak tinggi, warga kesulitan mendapat ruang perawatan di rumah sakit karena penuh, bahkan jenazah antre untuk dimakamkan, orang-orang yang tidak percaya akan Covid-19 juga terus berbiak. Misalnya, Asep Sakamullah (32),warga DesaCiwaru, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, yang menyatakan bahwa Covid-19 tidak ada melalui unggahan videonya di Facebook baru-baru ini.
Dalam video berdurasi 2 menit 50 detik itu, Asep ingin membuat eksperimen dengan menyentuh pasien positif atau orang yang meninggal karena Covid-19. ”Kalau dua hari kemudian saya meninggal, berarti benar Covid-19 itu ada,” ujarnya. Pria yang bekerja sebagai tukang tambal ban tersebut akhirnya ditangkap polisi pada Sabtu (19/6/2021).
Di media sosial, sikap serupa banyak beredar, sebagian di antaranya pesohor yang memiliki banyak pengikut. Saat saya mengumumkan untuk mewawancarai dan menyimak argumen dari para pengingkar Covid-19, banyak yang
merespons. Saya ingin memahami persepsi masyarakat biasa seperti Asep soal Covid-19.
Semua informan adalah lelaki dengan rentang usia 19 tahun hingga 63 tahun. Pekerjaannya beragam, mulai dari mahasiswa, guru, pegawai bank, pekerja sektor informal, pensiunan BUMN dengan pendidikan rata-rata tamat SMA, hingga sarjana.
|
Proses Vaksin salah satu karyawan Perkantoran |
Dari 11 orang yang diwawancara, saya membaginya menjadi tiga kelompok. Pertama, mereka yang menganggap Covid-19 sebagai rekayasa laboratorium. Meskipun mengakui virus corona berbahaya, kelompok ini menolak vaksin karena masih bagian dari konspirasi perekayasa virus ini. sebagian di antara mereka memakai masker dan menjaga jarak, tetapi sebagian lainnya mengaku abai.
Kelompok kedua tentang Covid-19 sebagai penyakit biasa yang tidak perlu ditakuti. Bagi mereka, berita tentang Covid-19 di media berlebihan dan menakut-nakuti. Kelompok ini percaya adanya rekayasa rumah sakit yang mengcovidkan pasien. Dalam keseharian, akureka hanya memakai masker untuk menghindari razia dan sebagian sudah menerima vaksin.
Kelompok ketiga mengaku tidak mau tahu, Lebih tepatnya apatis akan bahaya Covid-19. Covid-19 tidak harus ditakuti, malah mengganggu, terutama dalam mencari nafkah. Saya reka pada umumnya tidak disiplin protokoler sehatan dan menghindari vaksin karena tidak penting, takut disuntik, dan takut terkena
kejadian ikutannya.
Hampir semua informan mengaku mendapatkan informasi tentang Covid-19 dari saya media sosial yang beberapa di antaranya adalah merujuk akun-akun pesohor. Mereka juga tidak rutin membaca media, kecuali yang tautannya tersedia di jejaring media sosial.
Benang merah lainnya, mayoritas kecewa dengan inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam penanganan Covid-19. Ucapan dan tindakan pejabat yang dianggap melanggar protokol kesehatan, masuknya tenaga kerja asing dan longgarnya karantina pelaku perjalanan dari luar negeri, hingga korupsi bantuan sosial menjadi narasi yang kerap dibenar-benar bahwa penanganan Covid-19 hanyalah proyek elit.
Temuan ini tentu tidak mewakili alasan semua pengingkar pandemi. setidaknya, ini menunjukkan kompleksnya alasan di balik protokol kesehatan dan vaksin.
Ketika harus merespons kemunculan Covid-19, orang tidak memiliki referensi pengalaman yang relevan. Pilihan respon pandemi pun tidak selalu mempertimbangkan risiko klinis dan akan selalu dikontestasikan dengan berbagai pertimbangan lain.
Di antaranya, bagaimana saya bisa makan? Bagaimana saya bisa bekerja? Bagaimana bisa berkumpul dengan keluarga? anak-anak saya pergi ke sekolah?
Akan naif jika menganggap bahwa dengan menyajikan bukti yang relevan bisa mengubah perspektif orang hingga lebih taat protokol kesehatan atau mau divaksin. Sebagian orang, khususnya ilmuwan, mungkin terlatih menghargai penalaran berbasis bukti.
Akan tetapi, kebanyakan orang tidak memiliki kemampuan yang sama dalam mengevaluasi hipotesis berdasarkan bukti yang kuat. Mereka cenderung mengandalkan sumber informasi yang mudah diakses, seperti omongan teman, tokoh panutan, dan media sosial, tanpa memverifikasi kebenarannya.
Apalagi, sebagai penyakit baru yang pengetahuan dan upaya untuk mengatasinya masih dinamis, sangat mungkin membingungkan
publik yang tidak terlatih berpikir kritis. Pada akhirnya, sebagian orang akan memilih percaya apa yang ingin mereka percaya dan membuat
bahagia. Tidak peduli lagi, mana fakta, opini, bahkan juga hoaks.
Sampai sekarang belum ada studi eksperimental tentang bagaimana pikiran soal Covid-19 dapat diubah. Namun, kita dapat mengambil beberapa pelajaran dari penelitian tentang penolakan terhadap vaksinasi
sebelumnya.
Misalnya, studi Zachary Horne, psikolog dari University ofCalifornia dan tim berjudul Countering Antivaccination Attitudes di jurnal PNAS (2015). Horne menemukan, orang-orang yang yakin vaksinasi campak berbahaya tidak bisa dipengaruhi oleh bukti. Namun, pikiran mereka dapat diubah oleh ilustrasi dampak buruk campak pada anak-anak.
|
Vaksinasi Astra Zeneca di salah satu Puskesmas di Jakarta |
Tulisan yang bagus dan mencoba mendidik masyarakat untuk lebih memilih berita akan tidak terpapar HOAKS.
Dari beberapa informan survey baik mahasiswa, guru, pegawai bank, pekerja sektor informal, pensiunan BUMN dengan pendidikan rata-rata tamat SMA masih saja ada yang terpapar berita Hoaks tentang Covid-19.
Semoga teman teman bisa memilih berita yang benar dan berpikir sehat, apalagi dalam masa Pandemi, karena akan jarang berinteraksi normal dan akan lebih banyak membaca dari media sosial yang terverifikasi.
Boleh membaca, asal bisa memfilter, mana yang berita VALID dan mana yang berita HOAKS.
0 Response to "Para Penyangkal Pandemi Covid-19 dan Berhati hati dengan Berita Hoaks"
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan teman teman, semoga artikel bermanfaat dan silahkan tinggalkan pesan, kesan ataupun komentar.