Indonesia dari Seberang Batas, Bahasa, Hubungan Dua Negara, dan Terbang Dengan Air Niugini
Seri Cerita Perjalanan
Oleh Agustinus Wibowo
Saya sangat menyukai cerita perjalanan, maka saya tampilkan cerita Mas Agustinus Wibowo, supaya saya bisa membaca kapan saja saat saya pengin membacanya.
Hubungan Indonesia-Papua Niugini kini mulai membaik. Barang dari Indonesia mulai banyak ditemukan di Port Moresby, Papua Niugini. Kompas ,7 Juli 2021 |
Tok Pisin
Tok Pisin adalah pidgin yang berdasar bahasa Inggris. Kini, bahasa ini memantapkan posisinya sebagai kebanggaan negeri.
Mi tok aut long yu, God Papa… Mi bin mekim plenti rong.
Teks lagu rohani pada sebuah gereja di Port Moresby ini sekilas tampak seperti bahasa yang sama sekali asing. Tapi cobalah melafalkan kalimat itu, sambil membayangkan kata-kata di bahasa Inggris. Tidak sulit kita memahami artinya: “Saya memanggilmu, Tuhan Bapa… Saya sudah berbuat banyak salah.”
Tok Pisin, salah satu bahasa nasional Papua Niugini (PNG). Nama Tok Pisin berasal dari bahasa Inggris, Talk Pidgin, atau “Bahasa Pidgin”. Pidgin sebenarnya bukan nama bahasa tertentu. Pidgin adalah bentuk sederhana dari sebuah bahasa, yang menjadi alat komunikasi bagi orang-orang yang berbeda bahasa.
Pengumuman dalam bahasa Tok Pisin dan Bahasa Inggris di pertokoan di Port Moresby. Papua Niugini, Kompas 6 Juli 2021 |
Pada akhir abad ke-19, orang Melanesia dari berbagai penjuru Kepulauan Pasifik diangkut orang Eropa untuk dipekerjakan di perkebunan kopra dan tebu di Queensland (Australia) dan Samoa. Karena bahasa asli yang terlalu beragam, mereka butuh satu bahasa pemersatu untuk berkomunikasi. Dan itu adalah bahasa Inggris.
Sayangnya bahasa Inggris terlalu kompleks. Mereka hanya bisa menggunakan bahasa Inggris sederhana dengan kata-kata yang terbatas, dan tanpa aturan tata bahasa yang baku. Hasilnya seperti ini: Yu go we? Kamu pergi ke mana? Mi laikim yu tru. Aku cinta kamu.
Para pekerja itu lalu kembali ke daerah asal, membawa pengetahuan tentang pidgin Inggris ini. Bahasa ini kemudian berkembang di berbagai daerah, sehingga menghasilkan banyak varian di negara-negara Melanesia. Ada Tok Pisin di PNG, Pijin di Kepulauan Solomon, dan Bislama di Vanuatu.Keterbatasan kosakata membuat penutur Tok Pisin kreatif menciptakan istilah. “Rambut” dalam Tok Pisin disebut gras bilong het (rumputnya kepala), disingkat gras, sedangkan “sampo” disebut sop bilong gras bilong het (sabun untuk rumputnya kepala). “Rumah sakit” adalah haus sik, dan “rumah sakit hewan” haus dok sik.
Pembentukan istilah pun sangat masuk akal menurut logika setempat. Misalnya, marah disebut belhat (perut panas), dan hamil adalah gat bel (mendapat perut). Orang cerewet disebut man bilong toktok (orang yang omong-omong).
Bagi penutur asli bahasa Inggris, Tok Pisin mungkin terdengar lucu dan kekanak-kanakan, seperti bahasa bayi. Satu contoh klasik yang sering dikutip dalam buku linguistik, “piano” konon dalam Tok Pisin disebut bikpela bokis sapos yu paitim em-i krai (kotak besar yang kalau kau pukul, dia akan menangis). Saya sendiri tidak pernah mendengar orang PNG memakai istilah bertele-tele seperti itu untuk menyebut piano, tapi konon dulu memang sempat ada istilah Tok Pisin yang autentik: bokis bilong krai (kotak yang menangis).
Sekitar 80 persen kosakata Tok Pisin berasal dari bahasa Inggris. Tapi Tok Pisin juga banyak menyerap kata-kata bahasa daerah, terutama daerah Kepulauan Bismarck di bagian utara Niugini. Juga kata bahasa Jerman, karena daerah utara negara ini dulu jajahan Jerman. Selain itu, banyak pula kata serapan bahasa Melayu, seperti binatang (serangga), mambu (bambu), dan susu (minuman atau payudara).
Penutur Tok Pisin sudah menganggap itu bahasa yang alamiah, dan tidak mempertanyakan lagi asal-usul kata yang dipakai. Saya sempat heran kenapa orang PNG biasa menyebut anak lelaki sebagai mangi atau manki. Kata ini sesungguhnya berasal dari monkey, kemungkinan dahulu digunakan oleh orang kulit putih untuk menyebut para pekerja mereka yang berkulit hitam. Monyet bukanlah binatang asli Papua, sehingga saya menduga penduduk waktu itu mengira mangi berarti anak manusia.
Istilah lain untuk menyebut anak-anak adalah pikinini. Kata yang terdengar imut ini berasal dari bahasa Portugis pequenino (“sangat mungil”), tapi di Amerika Utara kemudian punya konotasi negatif untuk menyebut anak orang kulit hitam. Di PNG sendiri, pikinini adalah kata netral, tanpa konotasi.
Kini, Tok Pisin telah berkembang menjadi bahasa yang kompleks dan utuh.
Berbagai suku di Papua Niugini dan berbagai bahasa disatukan dengan Tok Pisin |
National Parliamant PNG |
Bahasa resmi PNG adalah bahasa Inggris. Tapi pesan layanan masyarakat, program televisi, lagu gereja, hingga debat di parlemen kebanyakan menggunakan Tok Pisin. Bahasa ini perlahan telah memantapkan posisinya sebagai identitas kebanggaan negeri.
City of Lae, Port Morestby |
Hubungan Indonesia-Papua Niugini adalah strategis dan penting bagi kedua pihak
Bagi banyak orang Indonesia, Papua Niugini (PNG) adalah negara tetangga yang asing. Sementara bagi banyak orang PNG, Indonesia dipandang sebagai negara tetangga yang menakutkan.
Andreas, seorang mahasiswa kelahiran 1990 yang saya temui di University of Papua New Guinea, pernah mendapat beasiswa belajar bahasa Indonesia di Jayapura. Orangtuanya sempat melarang dia berangkat. Indonesia terlalu bahaya, kata mereka. Andreas juga mengakui, “Saat itu yang saya tahu tentang Indonesia adalah itu negara komunis yang akan menjajah PNG.”
Penjaja koran di Port Moresby, Papua Niugini. Hubungan Indonesia-Papua Niugini punya arti penting bagi kedua negara. Kompas 7 Juli 2021 |
Sementara itu Helen, tuan rumah saya di perkampungan Koki, Port Moresby, mengaku tak tahu apa bedanya Indonesia dengan Filipina. Yang dia ingat tentang Indonesia hanyalah berita tentang pesawat yang ditumpangi wakil Perdana Menteri (PM) PNG pernah dibuntuti pesawat tentara Indonesia ketika terbang melintasi wilayah Indonesia. Berita itu membuatnya sangat ketakutan, mengira Indonesia akan segera menyerang PNG.
Helen (kanan) bersama kerabatnya yaitu Rawa (kiri). Pemahaman yang menyeluruh tentang Indonesia belum banyak dimiliki oleh warga Papua Niugini. Kompas, 7 Juli 2021 |
PNG tentu bukan daerah tugas yang mudah bagi para diplomat Indonesia. Dubes Indonesia untuk PNG pada 2014, Andreas Sitepu mengatakan, “Sejak dibukanya hubungan diplomatis pada tahun 1975, untuk waktu sekian lama, kerja sama konkret antara kedua negara bertetangga ini bisa dikatakan antara ada dan tiada.”
Dia menyebut masalah utama yang menyebabkan hubungan dingin antara kedua negara bertetangga ini adalah isu Papua dan perbatasan.
“Indonesia mungkin mencurigai PNG mendukung gerakan Papua merdeka. Sebaliknya, di PNG banyak beredar kampanye hitam, seolah Indonesia adalah musuh yang membawa penderitaan bagi orang Papua,” jelasnya. “Kecurigaan dari kedua belah pihak inilah yang membuat hubungan kedua negara tidak mulus.”
Tapi insiden itu membuat PNG marah. Berselang dua bulan kemudian, PM (saat itu) Peter O’Neill menuntut penjelasan resmi dari pihak Indonesia, dan bahkan mengancam akan mengusir Duta Besar Indonesia dari negara mereka.
Hubungan Indonesia-PNG adalah strategis dan penting bagi kedua pihak
Bagaimana pun, hubungan Indonesia-PNG adalah strategis dan penting bagi kedua pihak. PNG bisa menjadi pintu masuk bagi Indonesia dalam membangun hubungan dengan negara-negara Pasifik.
Sebaliknya, Indonesia penting bagi PNG. Selama ini, PNG selalu menganut “Kebijakan Lihat Selatan” dan sangat bergantung pada Australia. Belakangan ini PNG mulai beralih pada “Kebijakan Lihat Utara” untuk mendekati negara-negara Asia. Indonesia bisa menjadi pintu masuk bagi PNG untuk menuju Asia.
Sitepu mengenang, perubahan signifikan dalam hubungan kedua negara terjadi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada tahun 2010, Presiden Yudhoyono melakukan kunjungan ke PNG, dan sejak itulah dimulai pembicaraan tentang kerja sama di berbagai bidang.
Sebagai balasan, PM Peter O’Neill melakukan kunjungan ke Jakarta pada Juni 2013. Saat itu PNG membawa delegasi yang besar, lebih dari 140 orang, termasuk 11 menteri, plus sekitar 40 anggota parlemen dan 90 pebisnis.
“Di situ terlihat betapa kerinduan untuk kerja sama, yang selama ini kelihatannya terpendam,” kenang Sitepu. Dalam kunjungan itu, kedua negara menandatangani 11 MoU kerja sama, terbilang jumlah yang sangat besar.
PNG sangat antusias dengan perkembangan hubungan dengan Indonesia. Pada akhir 2012, PM O’Neill merilis 10 program keberhasilan pemerintahannya, dan salah satu poinnya adalah “membina hubungan dengan negara tetangga Indonesia yang telah terabaikan selama 37 tahun.” Indonesia adalah satu-satunya negara di luar PNG yang disebut secara eksplisit dalam daftar itu.
Saya turut menikmati buah dari membaiknya hubungan kedua negara. Sejak tahun 2014, pemegang paspor Indonesia bisa mendapatkan visa PNG pada kedatangan di bandara Port Moresby secara gratis. Di sisi lain, produk Indonesia juga mulai membanjiri pasar PNG. Di samping itu, setiap tahun Indonesia memberikan beasiswa bagi puluhan pelajar PNG.
Selama bertugas di PNG, Sitepu aktif membangun hubungan people-to-people ini. Menjelang akhir masa tugasnya di tahun 2014, dia membocorkan tiga strategi diplomasinya. Pertama adalah diplomasi setor muka. “Setiap ada pertemuan, apa pun bentuknya, duta besar Indonesia harus hadir,” jelasnya.
Strategi kedua adalah diplomasi “berminyak air”. Ini ibaratnya, kalau tidak punya minyak rambut, kita bisa pakai air sebagai penggantinya. “Kita harus bisa menempatkan diri dalam berbagai acara mereka.”
Strategi ketiga, dan yang sangat penting, disebutnya sebagai diplomasi 3S: “Sabar. Sabaaar. Sabaaaaar.”
Merah Putih di PNG
Dolf yang ingin kembali ke Biak, Papua, percaya bahwa keberagaman yang akan membawa kemajuan bagi suatu bangsa
Upacara HUT RI di Kedutaan Besar Repubik Indonesia di Port Moresby, Papua Niugini pada tahun 2014. Kompas, 8 Juli 2021 |
Sebagian Indonesia, terutama Indonesia Timur, juga dihuni orang Melanesia. Karena itu, Indonesia turut berpartisipasi dalam Festival Seni dan Budaya Melanesia yang pada 2014 digelar di Port Moresby, Papua Niugini.
Papua New Guinea, dikenal sebagai bangsa keturunan Melanesia |
Yang pertama ditampilkan oleh Indonesia adalah kesenian dari delegasi Maluku, yang penampilnya berpakaian ala Melayu dan menyanyikan lagu berbahasa Melayu. Banyak penonton PNG merasa penampilan itu terlalu asing bagi mereka.
Sebuah gambar di Bandara Port Moresby |
Keesokan harinya, harian The National memuat foto para penampil Maluku itu, dengan keterangan foto bernada ironi “An Asian Touch”. Di halaman yang sama, ada liputan wawancara dengan sejumlah orang “West Papua” yang datang ke arena festival itu. Narasumber bernama Papuanus menuding bahwa Indonesia telah membunuh budaya asli Melanesia di Papua, dan menggantinya dengan budaya Asia.
Sambutan dingin terhadap Indonesia berubah total pada hari terakhir, ketika yang tampil adalah delegasi Provinsi Papua. Para lelaki dari Tolikara memakai koteka, menyajikan tarian tradisional asli Papua yang lincah dengan tetabuhan gendang tifa. Atraksi itu seperti menghipnotis semua penonton, yang seketika bersorak bergemuruh. Koteka sudah sangat jarang dijumpai di PNG, sehingga penampilan itu tak ayal membangkitkan nuansa nostalgia, persaudaraan, sekaligus eksotisme di kalangan publik setempat. Wanita pembawa acara sampai ikut menari spontan di panggung bersama para penari Tolikara itu.
Festival ini kesempatan emas bagi Indonesia untuk menjalankan diplomasi budaya Melanesia, sekaligus menunjukkan posisinya dalam masalah Papua. Turut hadir dalam delegasi Indonesia adalah Gubernur Papua Lukas Enembe, yang dalam pidatonya di hadapan publik PNG menegaskan bahwa Papua mengalami kemajuan dan kedamaian sebagai bagian dari Republik Indonesia.
17 Agustus 2014. Halaman kedutaan Indonesia dipenuhi puluhan warga Indonesia yang menghadiri upacara peringatan 69 tahun kemerdekaan RI. Di antara mereka ada Dolf Marjen, seorang warga negara PNG yang berbaju batik dan sangat fasih berbahasa Indonesia.
Dolf Marjen (kanan) saat menghadiri perayaan HUT RI di KBRI, Kompas 8 Juli 2021 |
Jauh dari orangtua, Dolf muda hanya bisa membayangkan tentang sosok sang ayah. Kakek neneknya hanya nelayan miskin yang sering kehabisan uang. Saat itu dia membayangkan: Ah, andaikan Ayah ada di sini, kami tak perlu merasakan derita kemiskinan ini lagi.
PNG merdeka dari Australia tahun 1975. Saat itu, ayah Dolf ikut rombongan delegasi Menteri Luar Negeri PNG berkunjung ke Biak. Dolf yang sedang belajar di SMEA, melihat ada sejumlah tentara memasuki ruang kelasnya, langsung meringkuk ketakutan. Para tentara itu mendatanginya, justru lembut berkata, “Jangan takut. Bapamu ingin bertemu denganmu.”
Belasan tahun mereka dipisahkan garis batas, itu adalah pertemuan yang penuh air mata. Bapa Eli, ayah Dolf, berjanji akan membawa Dolf ke PNG. Dolf berangkat ke PNG tahun 1978, menjadi warga PNG, dan bekerja di badan keamanan maritim PNG hingga sekarang.
Indonesia adalah rumah kami, akar kami,
Kini, menjelang hari tuanya, Dolf sangat ingin pulang ke Biak. Di sana, dia sudah memiliki tanah dan sedang membangun rumah. Kelak ketika rumah itu selesai, Dolf berencana kembali menjadi WNI. Itu juga impian ayahnya, yang tidak kesampaian hingga akhir hayatnya. “Bagaimanapun juga, Indonesia adalah rumah kami, akar kami,” kata Dolf.
Realitas Indonesia adalah negeri yang dihuni beragam suku bangsa, termasuk Melanesia. Sedangkan stigma negatif di kalangan sejumlah warga PNG terhadap Indonesia utamanya didasari perasaan persaudaraan Melanesia dengan orang Papua. Para aktivis gerakan Papua merdeka dalam kampanyenya sering mendengungkan bahwa orang Melanesia Papua sudah bukan tuan rumah di tanah mereka sendiri.
Saya bertanya kepada Dolf, masihkah Papua yang kini dihuni beragam etnik dari seluruh penjuru Indonesia itu adalah rumah baginya?
Dolf mengatakan justru alasan itu yang sering membuatnya berdebat dengan orang-orang “West Papua” di PNG. Ia percaya bahwa keberagaman, dan bukannya supremasi ras, yang akan membawa kemajuan bagi suatu bangsa. “Tak masalah jika semua bangsa hidup bersama, saling membangun dan saling menguntungkan. Buat apa mengisolasi diri tapi jadi terbelakang?” katanya.
Jaksons International Airport, PNG |
Saya tak akan bisa memahami misteri garis lurus perbatasan Indonesia-Papua Niugini jika hanya tinggal di Port Moresby. Saya harus beranjak ke arah barat, memulai petualangan menelusuri perbatasan yang sesungguhnya.
Pesawat Air Niugini yang membawa Agustinus Wibowo ke Daru, Papua Niugini. Kompas, 9 Juli 2021 |
Perhentian pertama saya adalah Daru, pulau kecil ibu kota Western Province, provinsi paling barat Papua Niugini (PNG) yang berbatasan langsung dengan Papua Indonesia. Pesawat yang saya tumpangi, PX800, akan bertolak pada pukul 12:05. Akan tetapi, anggota staf KBRI di Port Moresby menganjurkan agar saya tiba di bandara paling lambat pukul 09:30. ”Jangan kira kalau sudah punya tiket, kamu pasti bisa terbang,” katanya.
Gambar di Bandara Jaksons International Airport, PNG |
Gambar yang ada di Jaksons Airport, Port Moresby, PNG |
Kendaraan di Jaksons International Airport, PNG |
Duduk santai di ruang tunggu, tiba-tiba saya mendengar seperti ada yang memanggil nama saya. Corong pengumuman memanggil nama saya kedua kali, meminta saya segera naik pesawat. Saya melihat jam, masih satu jam lagi dari jadwal terbang. Nama saya dipanggil ketiga kalinya.
Suasana dalam pesawat Air Niugini yang membawa Agustinus Wibowo ke Daru. Kompas, 9 Juli 2021 |
Saya berlari di tarmak, melalui koridor berpagar dan bertudung. Pesawat Bombardier Q400 yang bermesin turboprop buatan Kanada itu sudah menunggu. Saya adalah penumpang terakhir yang naik pesawat. ”Cepat!” kata pramugari di pintu pesawat. “Kita segera terbang.”
”Tapi ini masih belum jadwal terbang,” kata saya.
”Semua penumpang sudah siap, kita terbang lebih awal!” ujarnya.
Terbang tertunda saya sudah sering. Terbang lebih awal, baru pertama kali ini saya alami.
Jacksons Airport PNG |
Penerbangan menuju Daru 1 jam 15 menit. Untuk jarak yang hanya 442 kilometer, harga tiketnya 180 dollar AS. Ini tergolong murah. Di negara yang hanya separuh Pulau Papua ini, tiket penerbangan domestik bisa mencapai 1.000 dollar AS.
Setelah melewati Teluk Papua, pesawat menyeberang dari daratan utama melintasi selat kecil, untuk mendarat di sebuah pulau yang terlihat begitu kelam.
Warga melihat pesawat yang mendarat atau lepas landas di Bandara Daru, Papua Niugini, Kompas, 9 Juli 2021 |
Bandara lebih mirip lapangan rumput untuk sepak bola di tengah desa, dikelilingi pagar kawat. Di luar pagar itu, orang-orang berderet sepanjang jalanan, menempel di pagar, untuk menonton pesawat yang akan mendarat.
Apakah mereka sedang memimpikan keberangkatan? Atau merayakan ketibaan? Entahlah. Setelah pesawat mendarat dan kami turun dari pesawat, para penonton di balik pagar sudah jauh berkurang. Atraksi selesai, mereka pun bubar.
Hujan rintik semakin deras, para penumpang berlarian melintasi lapangan menuju gedung bandara, yang seperti rumah mungil bercat kuning dengan dua tangki besar penampung air hujan. Barang bagasi kami diangkut satu per satu oleh para petugas dari badan pesawat ke atas bangku kayu. Lalu setelah itu, terserah kami para penumpang untuk memunguti barang masing-masing.
Gedung Bandara Daru, Papua Niugini. Kompas, 9 Juli 2021 |
Berselang dua minggu dari ketibaan saya itu, saya kembali lagi ke bandara ini untuk mengantar seorang teman yang hendak berangkat ke Port Moresby dengan Air Niugini, yang hanya terbang dua kali sepekan pada Rabu dan Minggu.
Dari balik kawat pagar, bersama puluhan penduduk lokal, saya menonton para penumpang berbaris berjalan di atas tarmak menuju pesawat. Dua penumpang terakhir naik, sebentar di dalam pesawat, lalu turun lagi.
Pesawat tinggal landas. Para penonton di luar pagar bandara bertepuk tangan meriah, lalu satu per satu mereka pergi. Saya menghampiri petugas bandara, bertanya tentang kedua penumpang itu.
Dia bilang, mereka tidak bisa diberangkatkan karena pesawat sudah kelebihan muatan.
”Apa yang bisa mereka lakukan?” tanya saya.
”Mereka hanya bisa menunggu hari Rabu,” jawabnya.
”Di negara saya, pesawat terlambat dua jam saja, penumpang bisa marah. Ini penumpang yang sudah pegang boarding pass, tidak jadi berangkat, apa mereka tak menuntut maskapai?”
”Papua Niugini beda dengan negara lain. Di Papua Niugini, semua orang penuh pengertian. Mereka semua mengerti keadaan,” tuturnya sambil tersenyum.
Kasus ditutup.
Papua New Guinea, tercermin dari kalung yang dipakai, rakyat PNG adalah pelaut dan sesuai dengan sejarah penemuan PNG oleh Kapten John Moresby |
0 Response to "Indonesia dari Seberang Batas, Bahasa, Hubungan Dua Negara, dan Terbang Dengan Air Niugini"
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan teman teman, semoga artikel bermanfaat dan silahkan tinggalkan pesan, kesan ataupun komentar.