Indonesia dari Seberang Batas : Pertokoan Asing dan Bisnis Perantau China
Seri Cerita Perjalanan
Indonesia dari Seberang Batas
Cerita ke 4
PERTOKOAN ASING
Oleh Agustinus Wibowo
Saya sangat menyukai cerita perjalanan, maka saya tampilkan cerita Mas Agustinus Wibowo, supaya saya bisa membaca kapan saja saat saya pengin membacanya.
Satu kilogram cabai Rp 415.000. Satu kilogram jamur Rp 500.000. Satu kilogram jahe Rp 200.000. Saya terbelalak melihat deretan harga di supermarket Port Moresby.
Port Moresby, Papua New Guinea |
Harga yang luar biasa mahal di negara miskin dan berisiko tinggi ini juga pernah saya alami di Afghanistan. Tetapi, PNG jauh lebih ekstrem. Semua yang dijual di supermarket ini adalah produk impor berkualitas prima. Apel merah ranum dari
Amerika. Pisang kuning berkilau dari Brasil. Bahkan, susu segar didatangkan langsung setiap hari dengan pesawat dari Australia.
Banyak pekerja supermarket juga orang asing. Staf Filipina, India, Indonesia berdiri mengawasi para petugas kasir yang orang lokal. Ini seperti di Dubai atau Malaysia, di mana pekerja asing didatangkan untuk melakukan berbagai pekerjaan sederhana. Tetapi, ekonomi PNG jauh di bawah Dubai atau Malaysia. Produk domestik bruto (PDB) per kapitanya di kisaran 2.700 dollar Amerika Serikat.
Sejumlah besar pengunjung adalah kaum ekspatriat, yang mendapat gaji relatif tinggi sebagai kompensasi bekerja di daerah berisiko tinggi. Namun, tidak sedikit pula warga lokal, yang umumnya mengenakan kaus kumal atau daster lusuh, bersandal jepit atau bahkan bertelanjang kaki. Di berbagai penjuru mal bertebaran pengumuman yang khusus ditujukan bagi mereka agar tidak mengunyah pinang selama berada di dalam mal.
”Jangan lihat mereka hanya dari penampilannya,” kata Cicilia Bangun, staf KBRI yang menemani saya. ”Mereka sanggup bayar perawatan di salon 1.000 kina (Rp 5 juta) tunai.”
Warga lokal yang berbelanja di pertokoan mewah Waterfront ini tentunya masyarakat kelas atas. Tetapi, kenapa penampilan mereka seperti itu?
Hanuabada village, salah satu kawasan tinggal di pusat kota Port Moresby, PNG |
Gaya berpakaian modern tampaknya masih baru di negara ini. Namun, lanjut Cicilia, mungkin juga, penampilan kumal memang disengaja supaya orang berduit tidak menjadi incaran raskol (penjahat).
Port Moresby sedang booming. Mesin konstruksi terlihat di mana-mana, mempersiapkan berdirinya gedung-gedung pencakar langit. Pusat perbelanjaan modern, semua dibangun dengan investasi asing, mulai bermunculan dalam beberapa tahun terakhir ini. Satu tempat favorit yang sering dikunjungi staf KBRI adalah supermarket Super Value Stores (SVS) yang banyak menjual produk Indonesia, seperti mi instan, kecap manis, air mineral, makanan ringan, sepatu,
baju, obat. SVS adalah distributor tunggal Indomie ke PNGdan bisnis ini sangat sukses.
Para penumpang yang akan menaiki pesawat di Jacksons Airport, di Port Moresby, PNG. |
Dalam sebulan mereka bisa menjual dua kontainer mi. Sebelumnya, PNG sangat
bergantung pada Australia untuk memasok barang kebutuhan. PNG bahkan mengimpor beras dari Australia. Baru belakangan ini saja PNG tampaknya sadar punya tetangga bernama Indonesia yang bisa memasok barang dengan harga
jauh lebih murah.
Mie Instant di salah satu super market di Port Moresby, sumber Kompas |
Sayang, belum banyak pengusaha Indonesia melirik potensi bisnis di PNG. Bisnis Indonesia jauh lebih sedikit dibandingkan China atau Malaysia. Kekhawatiran utama tentu faktor keamanan. Padahal di tempat berisiko tinggi, potensi keuntungan juga sangat besar. Saya dengar, seorang pengusaha Indonesia berinvestasi membangun hotel di Madang, kota berpenduduk sekitar 20.000 jiwa di bagian utara PNG, senilai Rp 35 miliar, sudah bisa mencetak profit pada tahun ketiga.
Jaringan supermarket SVS dibangun pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa bernama Hidayat Hanafi yang sudah tinggal sejak 1988. ”Apa tantangan terberat berbisnis di negara ini?” Saya bertanya kepadanya saat kami berjumpa di KBRI. Dia menjawab lugas, ”Jadi orang baik.”
Selama tinggal di sini, Hanafi sudah lima kali dirampok. Yang pernah menempel di kepalanya termasuk pistol FN, senapan AL-15, dan senapan mesin M-16. Tetapi itu tidak membuatnya benci orang PNG. Dia justru membangun 20 rumah untuk warga miskin di Distrik Gerehu, termasuk untuk seorang raskol yang pernah merampok dirinya. Perampok itu sampai menangis tersedu-sedu
di bawah kakinya.
”Saya justru berterima kasih pada perampok itu karena dia pernah merampok saya,” kata Hanafi. Pengalaman dirampok malah membuatnya menyadari pentingnya berbagi untuk sesama. ”Dulu saya tidak pernah rela berbagi, tetapi sekarang saya selalu rajin menyisihkan 10 persen dari pendapatan bersih
untuk kegiatan sosial.”
Saat ini anggarannya untuk kegiatan sosial di PNG, tak tanggung-tanggung, mencapai 1 juta kina (Rp 5 miliar) per tahun.
Indonesia dari Seberang Batas
Cerita ke 5
BISNIS PERANTAU CHINA
Begitu senja menjelang, jalanan Port Moresby, Papua Niugini, mendadak lengang. Semua orang berlindung dalam rumah dari ancaman bahaya kejahatan.Tentu ini bukan lingkungan ideal untuk berbisnis. Tetapi, dalam kondisi begini pun, tetap ada yang bisa meraup keuntungan.
Traditional Market, Papua New Guinea, Instagram |
Peter, seorang pastor muda dari Jakarta yang sudah delapan tahun tinggal di negara ini, sangat bersyukur dengan maraknya pedagang China di PNG. Dia bilang, itu membuat belanja jauh lebih mudah dan murah.
Dia mengemban misi di Kerema, 300 kilometer jauhnya dari Port Moresby. Beberapa tahun ini Peter sering ke ibu kota, ke kawasan pertokoan orang China, khusus untuk belanja barang kebutuhan gereja di daerahnya. Dia datang de-
ngan mengemudi truk kosong, pulang dengan muatan penuh. ”Sebenarnya ada beberapa jenis orang China di PNG,” jelas Peter.
Yang pertama orang China lokal, atau ”Old Chinese”, keturunan imigran China abad ke-19 dan ke-20. Mereka sudah menjadi warga PNG dan bercampur dengan penduduk setempat. Jumlah mereka sedikit, tapi cukup berpengaruh. Misalnya Sir Julius Chan, mantan Perdana Menteri PNG.
Kelompok kedua orang Tionghoa Asia Tenggara, termasuk dari Indonesia dan Ma
laysia. Mereka ramai berdatangan pada tahun 1970-an dan 1980-an untuk berbisnis. Kebanyakan sudah menjadi pengusaha mapan yang menguasai jaringan supermarket, perhotelan, industri.
Berikutnya, pendatang baru dari negara China. Mereka datang beberapa tahun terakhir. Mereka kebanyakan pedagang kecil, membuka toko kelontong
yang merambah sampai pelosok pedalaman terpencil.
Kami mengunjungi pertokoan China di Distrik Erima. Barisan toko kelontong membentuk huruf U mengelilingi lapangan besar yang penuh mobil dan boks kontainer. Setiap toko seragam bentuk dan ukuran, berupa ruko berlantai dua, dengan toko di lantai dasar dan tempat tinggal pemilik di lantai atas.
Satu toko menjual kaus, jaket, kalkulator, lampu, ban sepeda. Penjaganya seorang perempuan China muda. Saya bertanya dalam bahasa Mandarin dari mana asalnya. Dia ketus menjawab, ”Sudah jelas kan saya dari China, buat apa
kamu tanya-tanya?”
Cuplikan suasana di salah satu sudut di Bandara Jacksons atau Jacksons Airport di Port Moresby, PNG |
Berbeda dengan orang Indonesia yang mudah akrab dengan orang sebangsa ketika berada dinegara asing, orang China cenderung lebih waspada pada sesama orang China. Xiao Yan, nama perempuan itu, baru berubah ramah setelah mengetahui leluhur saya dari Provinsi Fujian (Hokkian), yang kebetulan sama dengannya.
Xiao Yan sudah tinggal satu setengah tahun. Dia datang bersama suaminya, dan toko ini milik kakak perempuannya. Dia menyebut warga setempat sebagai turen, yang identik dengan suku primitif, atau heiren, orang hitam. Menurut dia, warga setempat sebenarnya baik dan lugu. Mereka juga senang dengan para pedagang China karena barang buatan China memang sangat murah. Namun, terkadang ada yang marah-marah karena barang yang dibeli cepat rusak. ”Tapi, bagaimana lagi?” kata Xiao Yan mengangkat bahu. ”Mereka kan maunya murah.”
Selain pertokoan, orang China juga mendominasi bisnis restoran. Satu restoran China di dekat pasar, pintu masuknya dua lapis, masing-masing dijaga lelaki Papua kekar berseragam. Pengunjung melewati pintu pertama, dan barulah setelah pintu pertama ditutup, penjaga berikutnya membukakan pintu kedua. Itu prosedur keamanan yang lazim di kota ini.
Pemilik restoran orang China, petugas kasirnya orang Filipina, sedangkan pelayan yang menyajikan hidangan ke meja tamu adalah perempuan PNG. Kami kemudian beranjak ke sudut lain Port Moresby yang dijuluki ”China Town” karena saking banyaknya toko milik orang China.
Toko milik Mr Ni lebih mirip penjara. Lelaki kurus paruh baya dari Provinsi Fujian, China, itu berdiri di balik terali besi tebal yang berjajar vertikal, seperti dipenjara di dalam tokonya sendiri. ”Kenapa ada terali ini?” saya bertanya dalam bahasa Mandarin. ”Oh, kamu masih baru di Papua Niugini,” dia tertawa. ”Di sini semua orang bisa memanjat dan meloncati lemari kaca, lalu merampok kasir. Mereka juga bawa senjata.”
Dia kemudian menunjuk kelangit-langit. ”Pernah juga malam hari ada perampok masuk dari sana, lalu menodongkan senapan ke arah kami sekeluarga.”
Mereka sekeluarga tinggal di dalam ruko ini. Dan mereka masih tetap akan tinggal, entah untuk berapa lama lagi.
Cerita yang bagus.
Saya sengaja menampilkannya supaya bisa membaca kapan saja.
Papua New Guinea, Instagram |
Baca juga :
0 Response to "Indonesia dari Seberang Batas : Pertokoan Asing dan Bisnis Perantau China"
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan teman teman, semoga artikel bermanfaat dan silahkan tinggalkan pesan, kesan ataupun komentar.