Kakao, Perjalanan Manis Pahit Kakao Indonesia
Seri Pengetahuan
Kakao - Cocoa
Perjalanan Manis Pahit Kakao Indonesia
Buah Coklat, Theobroma cacao |
Akibat terus merosotnya produksi, Indonesia kini hanya berada di urutan ketujuh sebagai negara penghasil kakao terbesar di dunia
Mungkin tak semua menyadari bahwa produk olahan buah kakao yang lazim kita nikmati pada mulanya melalui proses yang panjang. Buahnya dipetik oleh petani lokal, diolah dari biji ke pasta hingga bubuk, bergeser dari satu lokasi ke lokasi lain, lalu berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Dalam sebatang cokelat nan lezat tersimpan sejarah panjang yang mewakili cita rasanya yang manis-pahit.
Perkebunan Kakao, Theobroma cacao |
Setijati D Sastrapradja dalam buku Perjalanan Panjang Tanaman Indonesia (2012) mengatakan, kakao bukanlah tanaman asli Indonesia. Tanaman tersebut berasal dari dataran rendah kawasan Amerika Selatan, seperti Peru, Ekuador, Colombia, dan Brasil. Orang-orang Indian Amerika sejak ribuan tahun lalu sudah mengonsumsi biji kakao. Sekitar abad ke-16, orang Spanyol disebut sebagai bangsa yang pertama kali memperkenalkan kakao keluar dari daerah asalnya.
Biji cokelat dibawa masuk oleh orang Spanyol dari Meksiko saat pendaratan di Kepulauan Sangir, Sulawesi Utara
Tanaman kakao (Theobroma Cacao L) diperkirakan masuk ke wilayah Nusantara sekitar abad ke-16. Pada buku Komoditi Kakao: Peranannya dalam Perekonomian IndonesiaI (1995), Dr James J Spillane menjelaskan, biji cokelat dibawa masuk oleh orang Spanyol dari Meksiko saat pendaratan di Kepulauan Sangir, Sulawesi Utara. Awalnya tanaman kakao dikenal sebagai tanaman pekarangan dan nilai komersialnya belum diutamakan. Pengembangan potensi pun dilakukan dengan penanaman kakao dalam skala perkebunan di sejumlah daerah di Indonesia, yakni di Minahasa sekitar tahun 1780 hingga Ambon dan Seram (1858). Akan tetapi, perkebunan ini tidak berlangsung lama karena serangan hama.
Serangan hama Aerocercorps cramerellea Sn dan Helopeltis sp yang menjadi kendala perkebunan Kakao |
Setelah kopi meredup, barulah kakao dilirik sebagai komoditas yang menarik ditanam. Perkebunan kakao gencar dilakukan sepanjang Jawa Barat hingga Jawa Timur. Lagi-lagi, tanaman kakao tak bertahan lama karena serangan hama cacao moth (Aerocercorps cramerellea Sn dan Helopeltis sp) yang tak terkendali pada awal abad ke-19.Hingga tahun 1930, perkebunan kakao di sepanjang Jawa pun dialihkan menjadi perkebunan kopi atau karet.
Masih berdasarkan buku Komoditi Kakao tadi, subspesies tanaman kakao yang ditanam di Pulau Jawa pada awalnya didominasi jenis criollo atau mulia. Jenis ini memiliki sejumlah kekurangan, antara lain rentan terhadap hama/penyakit dan produktivitas rendah. Keunggulannya adalah memiliki cita rasa dan aroma kuat. Sekitar tahun 1888, MacGillavry, manajer dari perkebunan Djatiroenggo di Ungaran, Jawa Tengah, memperkenalkan bibit forastero atau lindak dari Venezuela. Varietas lindak relatif lebih tahan terhadap serangan hama, produktivitas lebih tinggi, lemak kakao yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan criollo. Namun, cita rasanya dan aroma kurang kuat.
Persilangan kedua jenis yang terjadi secara tidak sengaja menghasilkan bibit baru yang unggul. Penelitian lebih lanjut terkait pemuliaan tanaman pun dilakukan. Hasilnya, satu klon Djatiroenggo (DR) ditemukan sekitar tahun 1938. Penelitian terus dilakukan hingga didapat persilangan lainnya. Tiga klon mulai dikembangkan di Jawa Timur sejak tahun 1951, yakni DR1, DR2, dan DR38. Penemuan ini disebut menjadi penyelamat perdagangan cokelat di Jawa kala itu.
Namun, pengembangannya tidak memberikan hasil yang baik di Sumatera karena produktivitasnya rendah. Klon DR pun diganti dengan bibit Upper Amazon Interclonal Hybrid atau hasil persilangan antar-klon dari Sabah. Sejak tahun 1970-an, kakao mulai dibudidayakan sebagai komoditas perkebunan rakyat, negara, dan swasta di seluruh Indonesia, yakni Sulawesi Selatan, Sumatra Utara, dan Jawa Timur. Jenis kakao yang banyak ditanam adalah kakao lindak karena perawatannya lebih mudah, pertumbuhan cepat, dan produktivitasnya lebih tinggi.
Sejak zaman kolonial, kakao Indonesia sudah diekspor ke pasar luar negeri untuk memenuhi permintaan negara-negara di Eropa
Dalam kurun waktu 10 tahun (1974-1984), pengembangan perluasan tanaman budidaya kakao relatif cepat. Peningkatannya mencapai 395 persen. Semula luasnya 16.100 hektar (ha) pada 1974 dan bertambah menjadi 79.660 ha (1984). Perluasan ini diikuti pula dengan bertambahnya produksi kakao. Pada 1974, produksinya 3.400 ton. Jumlahnya meningkat 362 persen atau menjadi 15.700 ton (1984).
Sejak zaman kolonial, kakao Indonesia sudah diekspor ke pasar luar negeri untuk memenuhi permintaan negara-negara di Eropa. Dalam prosesnya, sejumlah kendala ekspor masih membayangi para petani. Misalnya, kualitas biji kakao yang belum memenuhi standar internasional masih menjadi kendala. Berdasarkan catatan Kompas, pada 1989, permintaan kakao Indonesia di kancah pasaran dunia cukup tinggi. Akan tetapi, mutu biji kakao Indonesia masih dianggap belum baik. Saat itu, hampir 80 persen produksi biji kakao Indonesia berasal dari kebun milik rakyat.
Minimnya pengetahuan petani terkait sistem pengolahan pascapanen biji kakao diduga menjadi penyebab. Misalnya, mereka kurang memperhatikan ketentuan standar bobot biji kakao kering dan sistem pemeraman (fermentasi). Padahal, fermentasi biji menjadi salah satu penentu kualitas sehingga tak boleh dilakukan sembarangan.
Rendahnya mutu biji kakao yang diekspor menyebabkan komoditas ini terkena denda yang cukup besar di pasar internasional.
Beragam kendala dan masalah yang dihadapi dalam produksi kakao mendorong terbentuknya asosiasi yang diharapkan bisa menjadi wadah bertukar pikiran dan mencari solusi. Sekitar awal tahun 1989 dibentuklah Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) yang memiliki perwakilan di setiap wilayah. Askindo turut membantu para petani, mulai dari pembibitan hingga penanganan pascapanen. Upaya ini dilakukan untuk meningkatkan mutu kakao.
Pengolahan yang belum memenuhi standar akan berdampak pada rendahnya harga yang diberikan. Sekitar tahun 1990, mutu kakao Indonesia menduduki peringkat ketujuh di pasar dunia. Hanya 63 persen dari total ekspor 85.000 ton per tahun yang masuk dalam kategori kakao berstandar mutu prima di pasaran internasional (Kompas, 13/6/1990).
Rendahnya mutu biji kakao yang diekspor menyebabkan komoditas ini terkena denda yang cukup besar di pasar internasional. Misalnya, pada 1992, ekspor biji kakao dari Sulawesi Selatan kehilangan Rp 36 miliar dari total 115.000 ton biji kakao yang dikirim. Hal ini disebabkan biji kakao tidak difermentasi hingga kurang sempurnanya fermentasi biji.
Mengeringkan Biji Kakao
Para petani enggan memfermentasi biji kakao karena harga jual yang ditawarkan eksportir tidak sebanding dengan waktu yang dihabiskan untuk fermentasi. Proses tersebut membutuhkan waktu setidaknya tujuh hari. Oleh karena itu, mereka lebih senang menjualnya secara langsung kepada para pengepul dan bisa menggunakan uang penjualan segera.
Para petani di sejumlah daerah merasakan manisnya panen kakao dan kalap membeli kendaraan atau peralatan elektronik.
Di tengah krisis ekonomi tahun 1998, harga kakao meroket hingga Rp 17.000 per kilogram (kg) dari sebelumnya hanya sekitar Rp 2.800 per kg. Hal ini dipicu melonjaknya kurs dollar Amerika Serikat terhadap rupiah. Para petani di sejumlah daerah merasakan manisnya panen kakao dan kalap membeli kendaraan atau peralatan elektronik. Bahkan, mereka mendapat sebutan orang kaya baru (OKB).
Kondisi itu terjadi di Sulawesi Selatan. Para petani terlena dan terkesan enggan menginvestasikan keuntungan yang didapat untuk biaya peningkatan produktivitas dan perawatan tanaman. Pohon kakao dibiarkan tumbuh begitu saja dan tak diberi pupuk sehingga produktivitas dan kualitas buah kakao turut berdampak. Padahal, kala itu, Sulsel merupakan penyumbang terbesar 70 persen dari sekitar 400.000 ton kakao di seluruh Indonesia. Keadaan tersebut dikhawatirkan mengancam Indonesia sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia.
Selain permasalahan di hulu, bagian hilir kakao juga diuji dengan kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Dalam catatan Kompas tahun 2003, sebanyak 70 persen dari 48 pabrik pengolahan biji kakao menghentikan usaha karena krisis bahan baku akibat kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang kurang menguntungkan. Krisis bahan baku disebabkan kekeringan dan serangan hama penggerek buah kakao.
Dalam kebijakan tersebut, ditetapkan biji kakao yang dipasarkan kepada pabrik dalam negeri selalu dikenai PPN 10 persen. Apabila diekspor, komoditas ini dibebaskan pajak. Kondisi ini dianggap merapuhkan geliat industri pengolahan kakao dalam negeri karena terkesan memutus harapan Indonesia untuk bisa mengekspor produk olahan selain biji. Industri pengolahan yang dimaksud berfokus pada memproses biji kakao menjadi kakao cair, lemak, bubuk, hingga padatan kakao. Bahan tersebut nantinya akan digunakan dalam industri pangan, farmasi, dan kosmetik.
Mereka tidak hanya jatuh tertimpa tangga, tetapi juga terpeleset.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67 Tahun 2010 tentang Bea dan Tarif Keluar Biji Kakao juga menimbulkan penolakan dari petani. Bea keluar yang ditanggung eksportir akan berdampak pada petani sehingga harga jual di tingkat petani menjadi rendah. Situasi tersebut justru kian merugikan petani. Padahal, jauh sebelumnya, mereka sudah menghadapi segudang permasalahan, seperti produktivitas rendah, usia pohon tua yang tidak lagi produktif, serangan hama, hingga harga jual yang tak pasti. Mereka tidak hanya jatuh tertimpa tangga, tetapi juga terpeleset.
Karyawan Perkebunan Coklat, Theobroma cacao |
Hingga tahun 2010, mayoritas perkebunan kakao di Indonesia masih didominasi perkebunan rakyat dengan produktivitas rendah. Persoalan biji kakao yang tidak terfermentasi dengan baik masih menjadi duri dalam daging. Hal ini berdampak pada industri pengolahan produk kakao dalam negeri yang harus mengimpor biji kakao dari Afrika sebanyak 30.000 ton per tahun dengan nilai sekitar 50 juta dollar Amerika Serikat. Selain biji, mereka juga mengimpor bubuk kakao. Jumlah impor bubuk kakao pada 2009 mencapai 10.700 ton dengan nilai 21,5 juta dollar AS.
Produksi kakao Indonesia terus merosot hingga kini hanya di kisaran hanya 200.000 ton pada 2020/2021
Impor bahan mentah kakao terus meningkat bersamaan dengan tingginya permintaan produk olahan. Berdasarkan data Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), impor biji kakao mencapai 112.712 ton selama Januari-Mei 2018. Angka itu naik 41,2 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 79.792 ton. Peningkatan itu sejalan dengan penurunan produksi kakao dalam negeri. Berdasarkan data AIKI, produksi kakao Indonesia turun dari 520.000 ton pada 2007 menjadi 340.000 ton pada 2016. Padahal, kapasitas terpasang industri pengolah kakao di Indonesia diperkirakan mencapai 800.000 ton per tahun (Kompas, 21/7/2018) seperti ilutrasi grafis di bawah ini.
Proses fermentasi Cacao |
Berdasarkan laporan termutakhir yang dikeluarkan ICCO, produksi kakao Indonesia terus merosot hingga kini hanya di kisaran hanya 200.000 ton pada 2020/2021, jauh dari kapasitas terpasang yang diperkirakan sekitar 800.000 ton per tahun (lihat 2 infografik di atas). Potret data ini tentunya tak sesuai dengan data yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Perkebunan, Kemeterian Pertanian yang berjudul “Produksi Kakao Menurut Provinsi di Indonesia 2017 – 2021”. Angka estimasi untuk produksi tahun 2021 disebutkan mencapai 728.046 ton, yang tentunya amat timpang dibandingkan dengan data yang dikeluarkan dalam ICCO untuk tahun yang sama. Pihak Dirjen Perkebunan ketika dihubungi hingga Kamis (22/7/2021), menyatakan masih akan mencermati perbedaan tersebut.
Soetanto Abdoellah, peneliti senior di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia mengungkapkan, merosotnya produksi kakao Indonesia secara garis besar disebabkan oleh kurangnya perawatan hingga pergantian tanaman perkebunan menjadi jenis tanaman lain yang lebih menguntungkan daripada kakao. Kurangnya perawatan itu biasanya karena petani tidak memberikan perlakuan yang sesuai dengan kebutuhan tanaman atau petani sudah mempunyai sumber pendapatan lain, misalnya berdagang atau menjadi tukang ojek sehingga kebunnya terlantar.
Pengolahan kakao
Di Indonesia, usaha dan industri pengolahan kakao berkembang pesat. Banyak produk olahan kakao berupa cokelat batang hingga minuman cokelat dihasilkan, mulai dari usaha kecil hingga industri besar, antara lain Cokelat Monggo di Yogyakarta hingga Silverqueen (PT Petra Sejahtera Abadi).
Beberapa tahun belakangan, juga bermunculan aneka jenama cokelat-premium artisan di Jakarta hingga Bali yang mengusung kakao lokal Indonesia dengan pendekatan single origin atau asal-tunggal. Beberapa di antaranya misalnya, Pipiltin Cocoa, Krakakoa, Pod Chocolate, dan Mason Bali. Dengan konsep asal-tunggal tersebut, konsumen dapat mencicipi kekayaan rasa asli (tidak tercampur dengan kakao dari kawasan lain) cokelat dari Tabanan di Bali, Glenmore di Banyuwangi, Pidie di Aceh, Tana Zozo di Flores, hingga cokelat dari Ransiki di Papua.
Cokelat Jenama Lokal
Penemuan buah kakao hingga akhirnya dapat dikonsumsi telah melalui perjalanan yang cukup panjang. Konsumsi kakao pertama kali diketahui dari kebiasaan suku Maya dan Aztec di Meksiko. Mereka membuat minuman berbahan baku kakao dengan cara menyangrai biji kakao dalam kuali tanah dan dipecah di antara dua permukaan batu. Hasil gilingan bubuk itu dicampur dengan rempah vanila dan cabai kemudian diaduk sampai mengental. Konon, minuman bernama chocolatl itu menjadi minuman favorit para raja dan anggota istana.
Pada 1520, Don Fernando Cortes, penjelajah asal Spanyol, menjadi orang pertama yang memperkenalkan resep minuman cokelat ke luar daerah Meksiko dengan menambah gula dan kayu manis. Bermula dari itu, minuman cokelat menjadi populer di Spanyol dan sejumlah negara Eropa, antara lain Perancis, Italia, dan Inggris. Penyebarannya terjadi di lingkup kecil, misalnya Putri Raja Spanyol Anna mengenalkan minuman ini kepada suaminya, Raja Louis XIII dari Prancis. Minuman cokelat menjadi simbol kemewahan karena harganya yang mahal dan hanya dikonsumsi para pejabat.
Di London, kedai cokelat mulai menjamur sekitar 1657. Susu segar ditambahkan pada campuran minuman cokelat dan menjadi favorit konsumen menengah atas. Hingga tahun 1820, jumlah impor biji kakao oleh Inggris terus meningkat dari 250 ton menjadi 500 ton. Minuman cokelat dicintai berbagai kalangan, terutama orang kaya.
Dalam perkembangannya, minuman cokelat terus mengalami perbaikan tekstur. Salah satunya adalah mengurangi kesan ”berat” dan kental yang berasal dari kandungan lemak pada biji kakao. Sekitar tahun 1828, warga Belanda bernama Van Houten menemukan terobosan berupa mesin tekan untuk mengeluarkan lemak cokelat atau mentega (cocoa butter). Pemisahan ini menghasilkan bubuk cokelat yang digunakan sebagai bahan baku minuman cokelat.
Produk sampingan berupa cocoa butter mendorong para produsen untuk mencari pasar yang bersedia membelinya. Lemak digunakan sebagai campuran pembuatan gula-gula cokelat sehingga dihasilkan adonan yang homogen. Pabrik cokelat dibangun pertama kali oleh Joseph Fry di Bristol, Inggris, sekitar tahun 1847. Produk awalnya adalah cokelat blok tanpa tambahan bahan lain.
Produk cokelat yang dihasilkan terus disempurnakan hingga didapat tekstur yang tidak berpasir.
Inovasi terus berkembang, yakni cokelat blok dengan tambahan susu dan gula ditemukan Daniel Peter asal Swiss pada tahun 1876. Tidak mudah untuk mencampurkan lemak cokelat, susu, dan gula. Susu yang digunakan harus memiliki kadar air yang rendah karena air akan melarutkan gula. Hasil akhirnya berpotensi menjadi tidak padat (pasta). Produk cokelat yang dihasilkan terus disempurnakan hingga didapat tekstur yang tidak berpasir.
Menurut Ali, konsumsi cokelat bisa memberikan pengaruh pada suasana hati. Hal ini disebabkan kandungan feniletilamin yang merupakan substansi mirip amfetamin yang dapat meningkatkan triptofan dan menghasilkan hormon dopamin. Hormon ini menimbulkan suasana senang, bahagia, dan perbaikan suasana hati. Feniletilamin dianggap memiliki khasiat aphrodisiac yang memunculkan perasaan seperti orang sedang jatuh cinta.
Perjalanan Manis Pahit Kakao Indonesia
Akibat terus merosotnya produksi, Indonesia kini hanya berada di urutan ketujuh sebagai negara penghasil kakao terbesar di dunia
Kompas, Tutur Visual
Wah ..., baru tahu kalau kakao berasal dari Spanyol. Selamat pagi, Pak Eko. Terima kasih telah berbagi.
ReplyDeleteSiap Bu Nur, perjalanan panjang untuk Coklat yang sering kita nikmati. Selamat pagi dan salam sehat Bu.
Delete